Kamis, 27 September 2012

Developer Indonesia Perlu "Babysitter"

Gesit Prayogi - Okezone
Rabu, 8 Agustus 2012 11:02 wib
detail berita
Salah satu kantor startup Color di Palo Alto (Foto: Getty Images)
JAKARTA – Instagram menjadi contoh salah satu startup yang cukup ternama dan populer di dunia. Namun mengapa startup besutan dalam negeri tak mampu menelurkan produk yang mendunia? Menurut salah seorang akademisi dari Universitas Gunadarma I Made Wiryawan, para developer lokal memerlukan bimbingan untuk dapat menjalankan bisnis startup.

“Developer tanah air mampu membuat startup, namun masalahnya mereka tidak mampu melihat pasar sehingga terkadang startup besutan anak negeri kandas ditengah jalan. Oleh karena itu para developer Indonesia membutuhkan bimbingan secara terus menerus. Di mana ketika mereka ada kendala ada pihak yang membimbing,” tutur Wiryana kepada Okezone, Selasa (7/8/2012).

Hingga saat ini, sejumlah startup lokal mulai bermunculan dan mampu berbicara banyak di tingkat global. Salah satunya ialah startup lokal situs jejaring sosial Koprol yang sudah diakuisisi oleh Yahoo.

Sayangnya, Koprol baru-baru ini dilepas oleh yahoo. Melalui keterangan pers yang diterima Ozekone beberapa waktu lalu, Yahoo mengatakan telah mencapai kesepakatan dengan Satya Witoelar, Fajar Budiprasetyo, dan Daniel Armanto, yang merupakan para pendiri Koprol.

"Yahoo akan mengembalikan semua hak terkait merek dagang dan domain yang diperoleh Yahoo pada saat akuisisi Koprol. Pemberian hak ini akan mengembalikan kepemilikan merek 'Koprol' dan domain terkait kepada para pendiri," demikian keterangan pers yang diterima Okezone.
Selain memerlukan bimbingan, para developer tanah air juga jarang yang memiliki mental entrepreneur yang kuat, sehingga ketika ada masalah ditengah jalan, terlebih soal dana mereka memilih berhenti dan tidak melanjutakan proyeknya lagi.
“Sementara itu ada faktor yang membuat startup anak bangsa sulit untuk maju. Faktor mental disinyalir ikut berpartisipasi, pasalanya banyak para developer tanah air lebih memilih bekerja di perusahaan teknologi ketimbang serius membuat suatu proyek untuk dikembangkan menjadi bisnis startup. Jadi tidak heran ketika mereka mengakami masalah terlebih ketika dibenturkan dengan permasalahan dana, mereka menyerah dan memilih bekerja di perusahaan lain,” pungkas Wiryawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar